Marga Jurukalang
Written by: Dadang Suroso, in RADAR LEBONG
On Sunday, 27-11-2011 at 21:16
Marga Jurukalang dalam catatan
Sumber: AMARTA (Aliansi Masyarakat Rejang Pat Petulai)
Suku Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatra selain
suku Bangsa Melayu, argumen ini dikuatkan bahwa Suku Rejang ini telah
memiliki tulisan dan bahasa sendiri, ada perdebatan-perdebatan panjang
mengenai asal-usul Suku Rejang, ada yang menyakini bahwa suku ini
bersasal dari Sumatera Bagian Utara, ada juga sebagai yang menyakini
bahwa Rejang berasal dari Majapahit bahkan sebagai masyarakat meyakini
bahwa sebagian besar berasal dari jazirah Arab. Mengenai asal usul
Rejang
sangat sedikit sekali literatur maupun hasil penelitian yang
lebih lengkap tentang asal usul bangsa Rejang, namun dalam menyusun
sejarah Adat Jurukalang yang merupakan kesatuan masyarakat komunal,
AMARTA mencoba menyusun serpihan-serpihan cerita turun temurun yang
kemudian mencoba untuk mengelaborasi dengan beberapa tulisan tentang
Rejang.
Jurukalang dalam bahasa lokal disebut dengan Jekalang yang pada
awalnya hanya terdiri dari 2 kutai atau dusun, dalam sejarah secara
turun temurun kutai tersebut adalah Kutai Topos dan Kutai Teluk Diyen,
kutai-kutai ini dikenal sejak zamannya pemerintahan Marga Jurukalang di
bawah pimpinan Bikau Bembo, namun sebelum zaman Bikau Bembo yang
memerintah Marga Jekalang ini diwilayah ini terdapat beberapa Kutai
dibawah pimpinan Ajai Siang antara lain Kutai Pukua, Kutai Mawua, Kutai
Menai, Kutai Sebayem dan Kutai Titik.
Jurukalang adalah salah satu Petulai dalam sejarah suku bangsa
Rejang, selain sejarah turun temurun beberapa tulisan tentang rejang ini
adalah tulisan John Marsden (Residen Inggris di Lais, tahun 1775-1779),
dalam laporannya dia meceritakan tentang adanya empat petulai Rejang
yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (Selupu) dan
Toobye (Tubai).[1]
Catatan-catatan lain tentang Kedudukan Jurukalang sebagai komunitas
adat asli Rejang, dalam laporannya mengenai ‘adat-federatie in de
Residentie’s Bengkoelen en Palembang Dr. JW. Van Royen menyebutkan bahwa
kesatuan Rejang yang paling murni dimana marga-marga dapat dikatakan
didiami hanya oleh orang-orang di satu Bang, harus diakui Rejang yang
ada di wilayah Lebong.[2]
Selain serpihan catatan, sejarah Jurukalang kebanyakan disampikan
secara turun temurun, hampir tidak ada catatan yang ditulis oleh
masyarakat lokal tentang Jurukalang, dari wawancara yang dilakukan
kebanyakan menceritakan bahwa di Jurukalang sebelum ditempati oleh
masyarakat yang mereka sebut ‘masyarakat beradat’ kebanyakan mereka
mulai menceritakan sistem lokal yang diyakini, bahwa sebelum kejadian
asal warga komunitas tersebut diwilayah ini terdapat beberapa manusia
‘dewa’ dan dalam bahasa lokal di sebut diwo-diwo yang berada di
Istana Ninik Mekedum Rajo Diwo masing-masing mereka adalah Raden
Serdang Lai, Raden Serdang Titik, Cito Layang, Puteri Emban Bulan,
Puteri Serasa Dewa, Puteri Gading Cempaka dan Puteri Serindang Panan.[3]
Ada kepercayaan yang berkembang di masyarakat, Perkembangan dari zamannya dewa-dewi ini kemudian banyak di ceritakan bahwa terdapat Manusia Setengah Dewa bagi masyarakat lokal Jurukalang di sebut dengan Diwo Tu’un Semidang, mereka yang lahir Tu’un Semidang
umumnya tidak diketahui dari mana asal usul, di masyarakat Jurukalang
kebanyakan di antara mereka meyakini bahwa orang-orang yang diidentikkan
sebagai Diwo Tu’un Semidang adalah Anok Mecer, Bujang Tungea,
Anok Dalam, Lemang Batu, Batu Idak Cene, Bujang Remalun, Semalim Angin
atau Seliman Putih dan Burung Binang.[4]
Dari perkembangan Diwo Tu’un Semidang tidak diketahui secara pasti namun dari cerita-cerita rakyat (folklore) yang masih sangat dipercayai oleh warga komunitas Jurukalang bahwa pasca setelah Diwo Tu’un Semidang hidup masyarakat nomanden selama 5 tahap[5].
Ada beberapa bagian cerita pada tahap atau generasi ini dimana hidup
masyarakat komunal dengan sistem ’meduro kelam’[6], yang dibagi menurut
perkembangan generasi, generasi pertama biasa disebut dengan Jang Bikoa
(Rejang Berekor) dari beberapa cerita yang coba disimpulkan oleh Team
AMARTA Rejang Bikoa bukalah Rejang yang sedang mengalami evolusi
biologis seperti teori Darwin bahwa manusia berasal dari kera atau perubahan
atas proses jangka waktu tertentu yang berarti perubahan sifat-sifat
yang diwariskan dalam suatu populasi organisme dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Tetapi Zaman Rejang Bikoa adalah penjelasan dari
kondisi Evolusi Peradaban dan budaya masyarakat di masa tertentu,
evolusi peradaban yang dimaksud adalah proses peralihan pengenalan
sistem adat dari Meduro Kelam menjadi manusia yang mulai mengenal
kearifan-kearifan tertentu dalam mengatur proses persingungan antar
meraka, dengan alam maupun dengan kepercayaan tertentu dan mulai
pengenalan kebutuhan domestic bagi mereka zaman ini sebenarnya lebih
pada penyebutan budaya masyarakat atau kebiasaan sebuah komunitas
tertentu dalam menyelesaikan sebuah perkara yang tak pernah berujung dan
sampai pada tahapan kesimpulan akhir.
Zaman Segeak yang merupakan perkembangan dan penyebutan
zaman Bikoa, dalam istilah lokal zaman ini hanya untuk menyebutkan
pola-pola hidup mereka yang nomaden dan food gatering, kecenderungan
masyarakat Rejang yang hidup di zaman ini adalah bermata pencaharian
berburu dan mengumpulkan makanan, hidup berpindah-pindah, tinggal di
gua-gua, dalam sejarah Rejang menurut Bapak Kadirman SH[7] ada
kecenderungan yang besar masyarakat ini hidup dibawah permukaan tanah
dia menyebutkan bahwa Gua Kazam yang terletak di Lebong Atas merupakan
tempat hunian orang Rejang Zaman ini dan di gua ini banyak ditemui
peralatan-peralatan masyarakat di wilayah ini, alat-alat yang digunakan
terbuat dari batu kali yang masih kasar, tulang-tulang dan tanduk rusa,
dari cici-ciri yang ada kemungkinan zaman Segeak ini adalah zaman batu
tua (Palaeolithikum) dan Zaman batu tengah (Mesolithikum). Belum ada
sistem budidaya kebutuhan makanan sehingga semuanya diambil dari alam,
atas kondisi ini kemudian banyak menyebutkan bahwa masyarakat yang hidup
pada zaman pola food gatering ini memakan semua yang di anggap bukan
makanan yang secara medis mengangu kesehatan fisik mereka.
Perkembangan dari Zaman Segeak ini, masyarakat komunal mulai
meninggalkan tradisi-tradisi Zaman Segeak, hidup relatif menetap dan
mulai melakukan budidaya-budidaya pertanian sehingga zaman ini disebut
dengan Rejang Saweak, saweak dalam bahasa Rejang adalah sawah
(suatu tempat untuk bercocok tanam jenis padi). Mereka umumnya menetap
disepanjang hulu sungai yang banyak terdapat di wilayah Jurukalang
seperti Sungai Ketahun, Sungai Buah, Sungai Baloi, dari beberapa bukti
yang ditingalkan pola pertanian mereka umumnya dengan membuat
kolam-kolam besar di tengah-tengah hutan, mereka tidak tinggal di dalam
gua, seperti masyarakat primitif lainnya karena diwilayah Jurukalang
sampai saat ini tidak pernah ditemukan gua-gua yang menunjukan sebagai
tempat tinggal, umumnya mereka membuat pondok yang dikenal sebagai serudung untuk tempat tinggal.[8]
Perkembangan yang penting adalah Zaman Ajai, Ajai itu sendiri berasal dari kata majai
yang berarti pimpinan suatu kumpulan komunitas tertentu, dalam sejarah
Rejang terdapat 4 Ajai yang memerintah di wilayah Kutai Belek Tebo
(wilayah Lebong Sekarang). Dari beberapa catatan WL De Sturler, pada
zaman Ajai ini Lebong masih bernama Renah Sekalawi atau Pinang Belapis,
sekumpulan manusia pada zaman ini sudah hidup secara menetap merupakan
satuan masyarakat komunal, belum ada kepemilikan pribadi pada zaman ini,
semua yang ada merupakan hak bersama, pentinnya kepemimpinan Ajai ini
sangat dihormati oleh masyarakat komunal namun Ajai dianggap sebagai
anggota biasa dari masyarakat hanya saja diberi tugas dalam memimpin.[9]
Yang paling diketahui oleh masyarakat Jurukalang adalah Ajai Siang,
namun ada kepercayaan bahwa bukan hanya Ajai Siang ini saja yang
memimpin komunal yang dimaksud tetapi masih ada Ajai-Ajai lain yang
hilang dari sejarah masyarakat Jurukalang. Namun yang terpenting ketika
Ajai Siang ini memimpin di wilayah Rejang di datangi 4 orang bikau yang
kemudian dipercayai memperbaharui peradaban di wilayah Rejang tentunya
termasuk wilayah Jurukalang, terjadi perdebatan panjang tentang asal
usul para bikau ini, sebagian menyakini bikau berasal dari majapahit dan
sebagian besar meyakini berasal dari jazirah arab, dan sebagian ada
yang meyakini dari China.
Argumen menyebutkan bahwa Rejang secara umum berasal dari china
dibuktikan dengan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa bangsa China
telah datang ke wilayah ini sejak tahun 225-216 SM atau 147–138 tahun
saka, mereka umumnya berasal dari negeri Hyunan (China daratan), dengan
bahasa Mon. Bahasa inilah yang menyebar keberbagai negeri di Thailand,
Birma, Kamboya dan sebagian Korea, dan pertama kali mendirikan negeri
bernama Lu-Shiangshe yang berarti sungai kejayaan atau sungai yang memberi kehidupan/harapan atau sungai emas, yang penduduknya disebut dengan sebutan Rha-hyang atau Ra-Hyang atau Re-Hyang atau Re-jang, sebuah
tempat yang terletak di pesisir barat Pulau Sumatera, pembuktian ini
kemudian diperkuat Suatu hal yang menarik adalah ditemukannya mata uang
China (Numismatic) yang bertuliskan Chien Ma berangka tahun 421
Masehi di Bengkulu Utara (Pulau Enggano). Mata uang yang Sama juga
ditemukan di Criviyaya atau Criwiyaya (Baca: Palembang) dan di
Tarumanagara (Baca: Jakarta). Dari kata CHIEN MA inilah muncul kata
Cha-Chien (Caci=uang dalam bahasa Rejang).[10]
Sementara dari sejarah yang coba disusun oleh penulis yang disadur
dari cerita secara turun temurun bahwa komunitas Jurukalang khususnya
Bikau Bembo dan keturunanya berasal dari Jasirah Arab, salah satu bukti
yang sampai saat ini masih terjaga dengan baik di Jurukalang adalah
Pedang yang bertulisan arab, pedang ini dipercayai milik dan peningalan
oleh Bikau Bembo yang di pelihara oleh keluarga ahli waris yang tinggal
di Desa Talang Baru. Dari sejarah yang didapati dari ninik mamak bahwa
Bikau Bembo berasal dari Istambul dan merupakan anak dari Zulkarnaene,
apakah ada hubungan dengan Alexander Agung (Alexander the Great) yang
merupakan anak kepada Maharaja Philip II dari Macedonia yang ibunya
berasal dari surga yang boleh jadi adalah Puteri Olympias dari Epirus,
akan sangat dini jika disebut ada hubungan dengan Alexander the Great
dan Puteri Olympias dari Epirus, biasanya sejarah yang diturunkan secara
turun temurun di Jurukalang dalam prosesnya ada bagian yang tidak boleh
di publish tanpa alasan yang jelas dan ada transfer
pengetahuan yang tidak sempurna maupun dipengaruhi oleh pola pikir dan
pengaruh eksternal bagi orang yang menerima cerita tersebut.
Dalam cerita yang percayai di Jurukalang Bikau Bembo yang menikah
dengan salah satu Puteri Ajai Siang yang bergelar Ajai Bijar Sakti yang
bernama Dayang Regiak, dari perkawinan ini melahirkan 7 orang putra yang
semuanya lahir di Jurukalang masing-masing putra tersebut adalah;
1. Rio Menaen
2. Rio Taen
3. Rio Tebuen
4. Rio Apai
5. Rio Mangok
6. Rio Penitis
7. Tuan Diwo Rio Setangai Panjang
Yang terakhir dipercayai sebagai jelmaan dari kedua orang tuanya,
dalam proses kelahiranya diceritakan bahwa kedua orang tuanya
berkeinginan untuk mencukupi anaknya menjadi 7 orang sehingga kedua
orang tuanya (Bikau Bembo dan Dayang Regiak) melakukan pertapaan dan
meminta kekuatan para dewa, pada hari ke 7 ritual tersebut Bikau Bembo
dan isterinya Dayang Regiak hilang, Raib dalam bahasa lokal
tempat Raib/hilangnya Bikau Bembo ini saat dikenal dengan Keramat Topos,
namun tiba-tiba di lokasi ritual tersebut ada seorang bayi yang kuku
tangannya panjang sampai ke siku sehingga di sebut Rio Satangai Panjang.
Ke tujuh anak Bikau Bembo ini kemudian menyebar di wilayah Rejang
yang sekarang, Rio Menaen membentuk Kutai di Teluk Diyen, Rio Taen
berkedudukan di Kutai Donok (Kota Donok sekarang), Rio Tebuen kemudian
membentuk di Komunitas Jurukalang di Lubuk Puding di perbatasan Bengkulu
dengan Sumatera Selatan, Rio Apai di Talang Useu Lais kemudian disebut
Rejang Pesisir begitu juga dengan Rio Mangok membentuk komunitas
Jurukalang di Gading Pagar Jati, sedangkan Rio Penitis membentuk
Komunitas Jurukalang di Musi, hanya Rio Setangai Panjang yang
berkedudukan dan meneruskan kepemimpinan di Tapus Jurukalang.
Sampai saat ini dokumentasi yang masih di ingat oleh tua-tua di
Jurukalang, dari generasi Bikau memimpin kelembagaan Petulai Jurukalang
sampai dibubarkannya marga akibat kebijakan sentralis negara melalui UU
No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Petulai Jurukalang dipimpin
19 Generasi Kepala Persekutuan, ke 17 orang yang dimaksud adalah;[11]
1. Bikau Bembo
2. Rio Taen
3. Tuan Diwo Rio Setangai Panjang
4. Rio Tado
5. Depati Singo
6. Depati Sugon
7. Depati Kulon
8. Sipan
9. Rajo Sediwo
10. Djike
11. Salam
12. Terusan
13. Ratu Salam
14. Sijar
15. Ali Asar
16. Ali Kera
17. Abdul Muin
18. Gulam Ahmad
19. Sabirin Wahid
Rio Setangai Panjang hanya mempunyai 6 orang putra putra yang ke
semuanya berkedudukan di Tapus sebagai pusat kedudukan Marga Jurukalang,
masing-masing putra putri tersebut adalah Mangkau Bumai, Temengung,
Dayang Regini, Dayang Reginang, Malim Rajo dan Pedito Rajo. Kebiasaan di
Jurukalang yang meneruskan kepemimpinan Marga adalah Putra tertua dari
generasi sebelumnya dan kemudian diberi gelar Depati atau Pesirah,
ketika pemerintahan Belanda baru kemudian ada proses demokratisasi dalam
pemilihan kepemimpinan.
Keterangan sumber data tentang bagian-bagian yang diberi nomor dalam teks:
- W. Marsden, The History of Sumatera, London MDCCLXXXIII, hal 178
- Dr. JW. Van Royen, adat-federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang Bab de Redjang. Hal 18
- Cerita ini kebanyakan di ceritakan di Desa Tapus oleh Bapak Salim Senawar
- Diwo Tu’un Semidang atau tun semidang adalah penyebutan dalam bahasa Rejang Jurukalang dimana ada kesulitan untuk menyebukan asal-usul seseorang secara pasti
- Tidak ada penjelasan lebih rinci mengenai 5 tahap ini, namun gambaran yang coba ditangkap oleh penulis adalah 5 generasi/keturunan satu klan, jika di asumsi 1 tahap/generasi adalah 100 tahun maka lamanya generasi ini adalah 500 tahun
- Meduro Kelam, adalah istilah lokal untuk menyebutkan Priode tanpa peradaban atau sering di sinonim dengan Jahilliah.
- Kadirman SH adalah ketua Badan Musyawarah Adat Kabupaten Rejang Lebong dan penyusun buku Rejang Ireak Cao
- Ada banyak pendapat mereka juga tinggal di dataran-dataran landai di sepanjang Danau Tes dan berpendapat sebagain besar masyarakat primitif Rejang hidup dan menetap di dalam gua-gua di wilayah Lebong yang sekarang seperti di Gua Kasam di Lebong Atas, dan sepertinya masyarakat komunanal yang berada di Jurukalang sampai saat tidak ada bukti-bukti yang menunjukan gua-gua di Jurukalang yang digunakan sebagai tempat tingal atau menetap. Serudung adalah sejenis pondok sederhana sampai saat ini masih banyak ditemui di wilayah Jurukalang biasanya ketidak akan membuka lahan perkebunan masyarakat membuat bangun ini.
- W.L. de Sturler, Proeve eener bechrijving van het gebied van Palembang. Groningen 1843 hal 6
- Hakim Benardie Sabri, www.metrobengkulu.com
- Nama-Nama ini diambil dari dokumentasi catatan Wak Usman Desa Talang Baru
No comments:
Post a Comment
Please give your comments here: