Monday, December 02, 2013

Morg (Cerpen oleh Clare Reddaway) Terjemahan Bahasa Indonesia

Morg by Clare Reddaway

Morg kesal. Lebih dari kesal, ia teramat sangat marah. Lagi-lagi ia harus memilih untuk mengkhawatirkan adik kecilnya itu. Biasanya ia selalu riang, seperti saat ia melihat adiknya itu tersandung karena kakinya yang masih pendek, atau saat adiknya itu mengoceh tidak jelas dengan gayanya yang mengundang tawa itu, tetapi hari ini ada sesuatu yang jauh lebih menarik terjadi. Para kaum pria sudah bersiap-siap untuk pergi berburu. Sudah berbulan-bulan lamanya tidak ada perburuan. Pertama karena akhir-akhir ini terlalu sering turun hujan dan kemudian terlalu banyak yang harus dikerjakan saat panen. Tapi sekarang semua gandum sudah dikemas dan biji-bijian itu semua disimpan dalam lubang. Sang tabib sudah hadir di sini, ia membawa berkah dari para Dewa dan juga obat-obatan bagi penduduk desa. Kepala suku telah memutuskan bahwa sudah waktunya untuk pergi berburu. Di luar orang-orang berkumpul dan sang tabib sedang menjelaskan beberapa hal pada mereka. Morg ingin sekali berada di sana, bersama mereka.



Tapi Morg tidak diizinkan untuk pergi. Ia bahkan tidak diizinkan untuk sekedar melihat-lihat. Adiknya sedang sakit. Ia kerasukan semacam roh jahat di dadanya yang membuatnya batuk terus menerus. Ia harus selalu tetap hangat, dan untuk itu ia harus tetap berada di pondok. Oleh karena itu, sementara saat ibunya mengambil air, Morg harus tinggal di gubuk juga, menjaga adiknya.

Saat itu di pondok gelap. Gelap gulita dan hangat, hanya diterangi cahaya dari api yang dibakar di tengah ruangan. Kemudian, biasanya api akan dibangun sedemikian rupa sehingga akan menjilati kuali hitam bulat dan panas untuk merebus makan malam. Tapi untuk malam itu sayur mayur telah diletakkan pada balok-balok. Api biasanya akan tetap panas dan hidup, tidak perlu diberi kayu lagi. Morg tahu, api itu sama rakusnya dengan serigala lapar di tengah hutan sana yang sering ia dengar lolongannya saat malam hari.



Morg bisa mencium bau api itu, begitu akrab baginya, seakrab ia dengan bau ibunya. Ia bisa mencium dan langsung tahu apakah mereka sedang membakar ranting-ranting kecil atau kayu hazel (sejenis kacang-kacangan), kayu dari semak-semak atau kayu-kayu yang lainnya. Bagi Morg, begitulah bau rumah.



Pancaran cahaya dari api itu menerangi wajah anak kecil yang terbaring di sebelahnya, yang tertidur pulas di atas selimut. Morg menyapu lantai di sekelilingnya, masih dengan perasaan kesal. Setiap remah-remah atau daging sisa menjadi makanan bagi tikus-tikus, dan ibu Morg benci tikus. Morg benci sekali ibunya hari ini. Ia tahu ibunya begitu mengkhawatirkan adiknya yang demam itu, karena adiknya yang perempuan dulu juga sakit seperti itu sebelum akhirnya meninggal. Hal itu tidak menahan Morg untuk meracau, mengomeli kekejaman yang membuat ia ditahan di dalam pondok itu. Kadang, saat ia sudah terlanjur berkata-kata seperti itu, ia berharap bisa menarik kata-katanya kembali, tapi sudah terlambat. Ia lalu melihat-lihat ke sekelilingnya dengan cemas. Jangan-jangan ada yang mendengar. Ia berceloteh lagi, tapi dengan kata-kata yang baik sambil berharap-harap cemas kalau tidak ada yang mendengar perkataanya itu tadi.



Di luar, ia mendengar suara terompet tanda berburu. Bunyinya kencang dan tajam, memenuhi seluruh desa. Morg beringsut menuju pintu. Ia bisa melihat dengan cahaya yang lewat melalui celah di papan, tapi itu tidak cukup. Ia membuka pintu sedikit. Mungkinkah ia bisa menyaksikan mereka dari sini? Ia mungkin hanya bisa menangkap sekilas apa yang sedang terjadi di sana. Tapi ia tidak bisa melihat apa-apa. Pagar tempat mengurung babi menghalangi pandangannya. Ia membuka pintu lebih lebar lagi, dan terjangan badai es pun menerpa tangannya. Angin menghantam, menggegerkan seisi pondok. Di belakangnya, bara berderik lalu api menyala dan bayi itu terbangun. Morg tidak memperhatikannya. Ia berusaha mengontrol pintu itu. Dijepitnya dengan batu, sehingga sekilas terlihat masih tertutup. Ia berlari keluar dan menyeberang ke sudut pagar babi.



Morg meloncat ke rerumputan yang berjajar di depan pagar. Rerumputan itu berserakan oleh angin es pertama musim itu dan Morg menggigil. Di sini selalu dingin dan berangin. Desa ini dibangun di atas sebuah dataran bukit, sebuah bukit yang tampak seolah-olah seperti tegaknya tubuh seseorang yang baru saja dipancung dengan pedang. Morg tahu bahwa wajar saja jika tempat mereka jadi seperti itu. Salah satu cerita dari ayahnya yang mengisahkan tentang buyutnya, yang datang ke bukit ini ketika masih kecil. Beliau sudah di sini sejak saat mereka menggali tempat ini dan membuat gundukan di atasnya, batu demi batu, sampai tempat itu menjadi datar dan halus sehingga siap untuk mereka diami. Bukit ini dipilih karena tinggi dan dari atasnya kita bisa memandang hutan dan lembah-lembah sungai hingga bermil-mil jauhnya. Orang tidak bisa merayap naik ke bukit ini tanpa terlihat. Bukit yang bagus.



Dari tempat di mana ia mengintai, Morg bisa melihat sepuluh atau dua belas pondok bulat dengan atap jerami runcing yang di sekitarnya dilingkari rerumputan. Kambing-kambing coklat kumal yang ditambatkan ke tiang-tiang, sedang merumput. Ada beberapa unggas di samping gubuk temannya, Olwig. Ia bisa melihat benteng-benteng tinggi yang terbuat dari tanah di sekitar tepi desa yang membuat mereka semua aman. Di dekat gerbang benteng, berdiri sekumpulan pria. Mereka diam dan mendengarkan. Rambut pirang panjang mereka tertiup angin. Morg bisa melihat wajah mereka dengan jelas. Lalu hembusan angin menyingkapkan wajah ayahnya, yang berada di tempat yang agak jauh dari mereka, berdiri di antara kuda dan Arlen anjingnya, yang diberi pengikat di lehernya. Arlen telah memamerkan giginya dan itu menandakan Arlen sudak tak sabar mengejar buruan ayah Morg. Arlen suka berburu, tapi dia tidak suka menunggu. Di sana, di samping ayahnya, ada Col, adik Morg. Morg geram. Ini adalah kali kedua adiknya itu ikut pergi berburu, sedangkan ia baru berumur tujuh tahun, satu musim dingin lebih muda daripada Morg. Col menyeret-nyeret kakinya, bosan dengan ceramah sang tabib, tak lagi sabar untuk pergi berburu. Morg tidak pernah bertingkah begitu kurang ajar.



Tiba-tiba terdengar jeritan dari belakangnya, teriakan menjerit yang meraung-raung. Sekejap Morg melompat berdiri dan sudah berada di pondok, di samping adik kecilnya itu. Wajah adiknya tegang dan air mata mengalir deras di pipinya. Anak itu melambai-lambaikan tangannya dan melengkungkan punggungnya, ingin bangun. Dia memukul-mukuli wajah Morg, tapi Morg berusaha mengangkatnya. Morg mencoba menenangkannya, tapi tak juga diam. Kemudian Morg mencium bau seperti ada sesuatu yang terbakar. Sebuah balok terlihat tergeletak membara di atas selimut. Segera dimasukkan oleh Morg kembali ke dalam tungku api, dikibas-kibaskannya bara itu dan menduga-duga apa yang telah terjadi. Rupanya tadi api telah berkobar. Anak itu tadi melihat api membesar dan merayap ke arahnya. Dipegangnya balok yang terbakar itu. Tampak oleh Morg - salah satu tangannya yang mengepal. Buru-buru ia meraih botol air yang terbuat dari kulit dan dituangkannya air ke dalam mangkuk. Dimasukkannya tangan adiknya ke dalamnya. Telapak tangannya merah dan melepuh. Ia yang menyebabkan semua ini, Morg sadar, teringat dengan sumpahnya untuk menjaga adiknya itu. Perlahan-lahan jerit tangisnya reda. Morg melembutkan wajahnya dan bersenandung lembut kepadanya, ditimangnya adiknya itu di pangkuannya.



Morg mendengar derit pintu terbuka. Itu ibunya. Ia membawa kendi air dari tanah liat yang terlihat begitu berat di atas kepalanya. Adik Morg yang paling kecil diikat di punggungnya - Dewa kesuburan tampaknya ramah pada keluarga ini. Ibu Morg tampak kelelahan. Morg menatap lantai.



"Morg?"



"Kebakaran," gumam Morg, seraya jeritan tangis itu kembali meninggi. Ibunya berjalan menghampiri.



"Jelaskan," kata ibunya sambil mengangkat anak itu. Morg menjelaskan. Ibunya berniat mengelus kepalanya. Morg merunduk, menghindar, tapi ibunya terlalu lelah untuk marah, ditambah lagi harus menghibur anaknya itu.



"Oh, Morg yang tidak berguna," katanya. "Pergilah. Habiskan waktumu seharian ini dengan domba-domba di luar sana. Aku tidak ingin melihat wajahmu."



Morg berpaling lalu pergi. Itulah kebebasan yang selama ini selalu ia inginkan. Tapi entah kenapa dia tidak menginginkannya lagi.



***



Morg tertunduk lesu, keluar dari gubuk. Dia mendengar bunyi terompet itu lagi – pertanda orang-orang akan segera berangkat berburu. Dia melihat para pria melompat menunggangi kuda mereka, mengendalikan kuda mereka dengan tangan dikaitkan ke surai yang panjang. Semua sudah naik ke kuda, kecuali Col. Kudanya, Branrin, berputar-putar, menolak untuk dinaiki Col. Morg mengepalkan tinjunya. Harus tangkas kalau mau menunggangi Branrin, pikirnya. Col harus tahu itu. Akhirnya Col berhasil naik, wajahnya merah padam karena malu.



Kuda-kuda dipecut dan kepala mereka pun melambung, napas mereka seperti asap di udara yang dingin. Anjing-anjing menyalak tak sabar. Ayah Morg, sebagai pemimpin berburu, memimpin kerumunan melalui tebingan tinggi yang menghubungkan desa dengan pintu gerbang luar. Penjaga melambaikan tangan saat mereka lewat. Morg menatap lama barisan itu hingga menghilang dari pandangan. Ia merengut.



"Morg!" Ia mendengar teriakan. Itu temannya, Olwig. "Kami terlambat membawa domba ke dataran bawah sana. Mau ikut?"



Morg tidak bisa memutuskan. Menolak untuk menjaga domba akan membuat ibunya lebih marah lagi. Di sisi lain, ia ingin ikut berburu. Namun, rombongan berburu sudah pergi. Bahkan Tabib telah kembali ke gubuknya.



"Baiklah," katanya kesal. "Di mana domba-domba itu?" Olwig menunjuk dan Morg melihat adik Olwig, Pridoc yang sedang menghalau tiga domba dengan ranting hazel. Sebentar saja domba-domba itu mampu dikumpulkan oleh Pridoc, sampai akhirnya mereka berpencar lagi lari melompati kepalanya. Pridoc yang terkaget, tersungkur di tumpukan sampah. Morg tak tahan tertawa melihatnya.



"Ayo," katanya kepada Olwig. Mereka berdua mahir mengembala domba. Mereka pun berangkat untuk mengumpulkan kawanan domba itu.



Ini adalah pekerjaan musim dingin. Semua domba penduduk desa di musim panas dibiarkan berkeliaran di luar, tapi sekarang malam hari akan sangat gelap dan lebih lama daripada musin panas, dan domba-domba itu akan dengan mudah dimangsa. Jadi setiap sore anak-anak bergiliran untuk menghalau mereka semua untuk pulang, dan keluar lagi setiap pagi ke ladang untuk mencari makan. Hari ini, domba-domba itu melincah dan senewen, mungkin merasakan geliat kegembiraan para pemburu dan anjing-anjing itu. Ini menyita semua keterampilan Morg dan Olwig dalam menenangkan kawanan itu untuk melalui lorong sempit ke pintu gerbang. Saat biri-biri jantan yang terakhir lewat, Morg menepuk wol-nya yang tebal dan padat. Pada musim semi, saat domba akan berganti bulu, wol-nya mulai dipangkas, sehingga mereka akan terlihat kurus, dengan sisa bulunya yang hanya helai-helai coklat. Anak-anak itulah yang harus memanen wol untuk dibuat menjadi kain – jika mereka sudah bisa menangkap dombanya. Hanya anak dengan dengan kaki yang sangat tangkas bisa mengejar domba itu dan menangkapnya. Morg ingat ketika suatu saat dulu ia menangkap domba paling banyak, dan memanen bundel wol paling besar. Ibu dan ayahnya begitu bangga padanya saat itu.



Mereka akan bangga lagi, pikirnya, dan ia pun dengan giat menuntun ke domba jantan yang besar, yang melompat dengan gesit keluar dari jalan dengan hentakan tumitnya yang tangkas.



"Semoga Dewi Alos memberkati perburuan hari ini, huh?" teriak Olwig lagi kepada Morg.



Saat Olwig mengatakan hal itu, setahu Morg ia telah mengatakannya yang kesekian ratus kalinya. Sang Dewi mungkin memberkati para pemburu. Dia mungkin memberkati Morg juga. Dia mungkin mengangkat usaha keras Morg yang telah begitu bodoh membiarkan halauannya longgar. Morg menggiring domba melalui medan pintu gerbang yang berat melewati benteng. Sementara ia sendiri tenggelam dalam alam pikirannya.



Tanah miring dan curam yang dilalui menurun dari gerbang dan jalan itu berbahaya. Ia harus jeli di mana ia melangkah untuk menghindari kehilangan pijakan. Penduduk desa sengaja membuat jalan begitu kasar untuk mencegah datangnya pengunjung yang tak diinginkan. Domba meloncat ringan. Mereka sudah tahu jalan menuju tempat mereka untuk merumput. Sudah tersedia banyak makanan untuk mereka disana, dan mereka juga memupuk lahan itu dengan kotoran mereka untuk masa penanaman musim depan.



"Olwig?" bujuk Morg, saat domba-domba itu merumput dan diam. Olwig tahu nada suara yang membujuk ini dan dia tidak senang.



"Apa?"



"Aku temanmu, kan?"



Olwig waspada, tapi dia mengangguk.



"Maukah kau melakukan sesuatu untukku? Untukku, temanmu. Aku akan selamanya berhutang budi padamu." Morg membungkuk seolah begitu rendah hati padanya. Olwig mendesah panjang.



"Apa?"



"Aku harus pergi. Aku mau kau yang menjaga domba."



"Sendirian?" Olwig terkejut.



"Aku akan segera kembali."



"Kau mau kemana?"



"Aku akan pergi ke hutan." Mata Olwig terbelalak. Pergi ke hutan keramat itu sendirian kemungkinan akan menakutkan.



"Apa yang akan kamu tawarkan kepada Dewi?" tanyanya, akhirnya.



"Ini," kata Morg singkat seraya menunjukkan jarinya ke bros di lehernya yang menempel pada jubah tebal cokelat di lehernya. Itu adalah sebuah perunggu yang ditempa dan membentuk lingkaran, dengan pola melingkar-lingkar di atasnya. Ayahnya membeli itu untuknya saat pergi beberapa bulan yang lalu. Ia ingat betul saat ayahnya turun dari kuda, rambutnya menggelitik wajah Morg. "Dan ini untuk Morg kecilku, " kata ayahnya sambil tertawa dan menyematkan bros di tuniknya itu. Ia sangat menyayangi bros itu.



Olwig tersentak. Dia tahu Morg serius.



"Pergilah sekarang," katanya. "Para Dewa menyertaimu."



Morg pun pergi ke dalam hutan. Olwig menatap lama ke pepohonan sampai Morg pun tidak terlihat lagi.



***



Morg suka hutan, dan sekaligus juga takut. Rakyatnya memerlukan hutan untuk bertahan hidup, tapi kadang-kadang hutan juga menelan mereka. Morg tahu persis bahkan setiap inci tepian hutan itu. Dia sering dikirim keluar bersama Olwig untuk mencari dan mengumpulkan hazel atau beech nut (sejenis kacang-kacangan juga) di saat musim gugur. Hasilnya akan disimpan dalam lubang, seperti yang biasa dilakukan tupai, supaya awet berbulan-bulan di musim dingin. Morg suka memetik blackberry yang muncul di akhir musim panas. Di tuniknya masih ada bekas noda ungu getah buah-buahan itu. Ayahnya tertawa dan bertanya ada berapa banyak sebenarnya blackberry yang mereka petik dan bawa pulang hingga benar-benar mencapai desa. Morg tahu di mana tempat memetik daun melde hijau yang biasanya suka dimakan keluarganya dengan daging, yang paling menyenangkan, tanaman-tanaman yang mereka tumbuk hingga halus untuk membuat minyak.



Memang, Morg-lah yang pertama kali menemukannya, Mistletoe, tanaman suci yang menyembuhkan hampir semua penyakit. Ia telah menunjukkannya pada Tabib di mana tanaman itu tergantung dan Tabib pun senang padanya. Diletakkan tangannya yang pucat itu di atas kepala Morg dan menatap matanya dalam-dalam dan memberi tahu bahwa ia telah melakukan hal baik dan bahwa ia akan diberkati oleh para Dewa. Saking Morg merasa begitu bangga hingga dia pikir dia akan pingsan ketika itu. Semua tanaman obat telah dikumpulkan pada hari keenam pada bulan itu, dan Tabib telah mengorbankan tiga unggas untuk Ibunda Dewi agar membawa keberuntungan bagi mereka. Dia membawa tanaman obat tersebut ke gubuknya, dan Morg membayangkan bahwa di sana ia akan membuat ramuan penyembuhan untuk orang-orang di desanya.



Itu terjadi tiga musim yang lalu, di musim semi. Sekarang Morg tidak lagi merasa diberkati oleh para Dewa. Sejak lahirnnya bayi yang baru itu, di mata ibunya ia tak lagi bisa melakukan apa pun dengan benar. Ibunya selalu kelelahan dan marah-marah. Dia berjalan dengan langkah berat dan Morg sudah dua kali melihatnya meringkuk, mencengkeram perutnya, menangis kesakitan. Morg penasaran apakah tanaman itu bisa mengusir apapun yang sedang merasuki ibunya itu.



Morg memikirkan ibunya saat ia menjejakkan kaki ke dalam hutan. Jalan ke dalam sana jauh, dan ia harus pergi ke bagian yang ia belum tahu. Semakin jauh ke dalam, jalan menjadi semakin sempit, dan semakin kurang baik. Pohon-pohon yang lebih berdekatan satu sama lain, dan Morg hampir tidak bisa melihat langit yang kelabu di atas sana dengan mata telanjang, terhalang jalinan cabang-cabang pohon. Ia tahu, selama ia terus mengikuti jalan ini, ia pasti akan sampai ke tengah hutan, tapi ia gugup dan takut. Ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa orang-orang pernah melihat serigala ketika domba yang baru tumbuh besar milik tetangganya Daroc hilang, dan itu terjadi genap tiga bulan lalu. Serigala tidak akan menyerang di siang hari, pikirnya. Sebuah dahan pohon patah dan jatuh di belakangnya. Hal itu membuatnya berlari ketakutan. Ia berlari dan berlari, sampai terengah-engah, napasnya tak karuan dan ia merasa seolah-olah ada belati yang ditekan ke dalam dirinya dan ia harus berhenti sekarang. Ia melihat dengan ketakutan ke arah belakangnya. Tidak ada apa-apa di sana. Tetap tenang, ia berkata pada dirinya sendiri, tetap tenang dan kamu akan selamat. Namun begitu, ia mencoba untuk berjalan tanpa suara dan terus berharap-harap cemas semoga ia tidak akan celaka.



Jalan mulai menanjak ke atas. Sangat curam. Bahkan pohon-pohon bersandar ke bukit agar tidak longsor ke bawah. Jalan itu berbahaya, tertutup bebatuan longgar. Morg harus bersusah payah untuk menjaga pijakan dan menggunakan tangannya untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Lalu ia mendengar suara air terjun dan ia tahu bahwa ia sudah hampir sampai. Beberapa menit kemudian ia naik ke atas pinggiran bebatuan yang terakhir dan keluar dari pepohonan. Ia telah sampai. Rumput di dataran itu segar dan hijau, lebih hijau dari yang dilihatnya selama berbulan-bulan sebelumnya. Di hadapannya ada dua batu besar, menghimpit satu sama lain. Dari celah antara keduanya mengalir air dingin dan jernih. Di aliran air itu, bebatuan mengkilat merah dan hitam. Menjorok di atas mata air itu ada pohon ek, pohon yang sangat besar, yang bahkan jika Olwig dan Morg berpegangan tangan dan membentang selebar yang mereka bisa, tangan mereka tidak akan mencapai penuh lingkar batangnya. Itulah pohon suci Alos, Dewi hutan.



Morg tertegun, ragu-ragu. Ia tiba-tiba takut. Bagaimana jika Dewi mengira ia telah berlaku kurang ajar? Ia sendirian dan masih kecil, berani mendekatinya tanpa ditemani seorang pendeta pun? Morg berlutut, dan kemudian menundukkan kepalanya ke tanah, mengarahkan lengannya ke mata air.



"Oh Dewi, lindungi dan berkatilah aku," gumamnya. "Aku minta maaf karena hanya aku sendirian di sini. Maksudku, aku tidak mengajak Tabib atau siapa pun. Seperti yang engkau lihat, aku tidak sempat mengajak mereka." Ia kemudian mendongak, berharap Alos akan mengerti.



"Aku membawakan ini," katanya dan ia copot brosnya. Jubahnya terlepas dari bahunya. Ia menggenggam bros itu erat-erat dalam kepalan tangannya.



"Ini adalah benda kesayanganku. Aku ingin memberikannya kepadamu." Ia masukkan genggamannya itu ke bawah air dan perlahan-lahan membukanya. Air mengalir melalui lingkaran yang terbuat dari perunggu itu. Tampak begitu indah, dan jari-jarinya mencengkeram di atasnya. Mungkin dia bisa menawarkan sesuatu yang lain. Angin yang begitu dingin berhembus melewati dedaunan pohon ek itu. Itulah jawabannya. Dewi menginginkan brosnya.



"Aku minta maaf atas kesalahanku. Tolong, buatlah ibuku jadi lebih baik lagi. Keluarkan roh-roh yang mendiami dirinya itu. Buatlah dia bangga padaku. Buatlah ia menyayangiku lagi."



Kemudian, ia tidak tahan lagi dengan genggamannya, bros itu pun terlepas, "Aku ingin ikut pergi berburu. Col boleh ikut, kenapa aku tidak boleh?"



Morg biarkan bros itu meluncur keluar dari tangannya dan masuk ke lubuk air terjun itu.



"Apakah terlalu banyak yang aku pinta itu? " katanya. Dia melangkah mundur. Saat ia mundur, awan yang kelabu tiba-tiba menjadi cerah, dan matahari pun muncul. Itu membuat brosnya berkelap kelip di bawah air dan kilauannya menari-nari di permukaan air. Sang Dewi telah menerima persembahannya.



Morg mengambil langkah berbalik dari sungai itu dan melihat ke sekelilingnya. Hutan itu senyap dan diam. Morg merasa kedinginan. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin sebaiknya ia pulang saja sekarang.



Saat ia mencoba untuk memutuskan, ia mendengar suara derap kencang yang menakutkan. Seekor babi jantan besar keluar dari pepohonan dekat sungai itu. Babi itu melengking karena terkejut dan tiba-tiba berhenti. Berdiri menghadap ke arahnya, Dengan taringnya yang tajam babi itu bisa saja menanduk seorang pria hingga tewas. Sorot mata kecilnya itu menatap Morg.



Morg menatap balik.

***

Baca cerita selengkapnya disini

No comments:

Post a Comment

Please give your comments here: