Wednesday, October 05, 2011

REJANG

REJANG, SUKU REJANG: Salah satu suku bangsa asal yang mendiami wilayah Provinsi Bengkulu. Jumlah anggota suku bangsa ini adalah yang terbesar dibandingkan dengan suku bangsa asal lainnya, seperti suku bangsa Serawai, Melayu Bengkulu, dan Enggano. Sumber kepustakaan menunjukkan jumlah orang Rejang pada tahun 1932 sekitar 130.000 jiwa, sedangkan pada tahun 1978 sekitar 300.000 jiwa. Wilayah kediaman mereka berada di sela-sela Bukit Barisan yang subur di bagian timur Provinsi Bengkulu. Pada masa lalu wilayah ini termasuk Kewedanan Rejang dan Kewedanan Lebong. Sekarang wilayah ini termasuk daerah administratif Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Bengkulu Utara. Sebagian menetap dalam wilayah Provinsi Sumatera Selatan, seperti di daerah Lahat.
            Orang Rejang memiliki bahasa sendiri, yaitu Bahasa Rejang, yang mereka sebut Baso Jang. Bahasa Rejang terdiri dari beberapa dialek, yakni dialek Kepahiang, dialek Selupuh, dialek Lebong, dan dialek Rejang Pesisir. Dialek ini tersebar di Kecamatan Kota Curup, Kepahiang, Muara Aman, dan Padang Ulak Tanding dalam Kabupaten Rejang Lebong, dan sebagian lainnya tersebar di Kabupaten Bengkulu Utara.
            Masa lalu daerah Bengkulu ditandai oleh hasil kebudayaan batu besar atau megalitikum. Sisa-sisa kebudayaan batu besar itu berupa dolmen, menhir, kuburan atau batu berundak; masih dapat disaksikan di daerah Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Bengkulu Selatan. Sejarah lisan kelompok etnik ini menyatakan bahwa orang Rejang berasal dari China; pemukimannya kemudian terpusat di Renah Sekelawi, yang sekarang merupakan wilayah Kecamatan Lebong Utara dan Kecamatan Lebong Selatan. Daerah Renah Sekelawi kemudian menjadi wilayah Kerajaan Empat Petulai. Kerajaan itu terbagi atas empat Petulai, yang masing-masing dipimpin oleh seorang raja dengan gelar adat Ajai. Keempat Ajai itu adalah Ajai Bintang, yang menempati dusun (sadei) Pelabai; Ajai Siang mendiami dusun Siang; Ajai Malang menempati dusun Bandar Agung; dan Ajai Bageleng Mato menempati Kutai Belek Tebo.
Pada masa pemerintahan para Ajai itu, orang rejang sudah mempunyai tradisi tulis dan adat istiadat yang konon sangat keras. Pelanggaran adat besar, harus diganjar dengan hukuman setimpal; misalnya orang yang membunuh harus dibunuh juga. Sementara sumber menyatakan bahwa pada abad ke-12 pengaruh Kerajaan Majapahit memasuki masyarakat Rejang. Sejak saat itu mereka mengenal pertanian, sedangkan norma-norma adat yang keras berangsur-angsur diperlunak. Aturan tentang pembunuhan (gawai bunuh) diganti dengan gawai bangun, artinya siapa membunuh tidak lagi diganjar dengan hukuman bunuh, tetapi harus membayar semacam denda berupa emas atau perak kepada kerabat si mati. Aturan-aturan adat yang berat lainnya juga mengalami perubahan yng kemudian berlalu sampai pada masa-masa yang lebih akhir.
Masyarakat Rejang kemudian berada dalam satu-kesatuan yang dinamakan Adat Tiang Empat atau Rejang Empat Petulai. Keempat Petulai itu merupakan semacam klen atau marga (mego) yang disebut petulai jurai, yang masing-masing dipimpin oleh seorang Pesirah. Keempat klen tersebut bernama Bang Mego Tubai, Bang Mego Bermanai, Bang Mego Jekalang dan Bang Mego Selupuak. Semua ini dianggap klen asli. Sekarang klen-klen pada masyarakat Rejang itu sudah banyak bertambah.
Organisasi politik tradisional pada warga terinci dalam struktur tertentu. Marga dipimpin oleh Pesirah yang dipilih oleh rakyat sendiri secara demokratis sesuai dengan aturan adat. Kepemimpinan Pesirah itu selalu dimonitor dan dinilai oleh rakyat; dan bila rakyat menilainya baik, ia dapat dipilih kembali. Pesirah yang berprestasi akan diberi gelar pangeran, yang sama penertiannya dengan “pesirah teladan”. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, pesirah dibantu oleh seorang wali yang disebut punbarap. Apabila pesirah berhalangan, wakil ini dapat mengambil keputusan sendiri. Selain itu pesirah dibantu oleh beberapa orang dalam bidang keagamaan, yaitu agama Islam; misalnya imam, khatib, bilal. Dalam masyarkat adat, pesirah dibantu oleh tua-tua adat dalam masyarakat setempat.
Satu marga terdiri atas beberapa dusun dan setiap dusun dipimpin oleh seorang ginde. Setiap dusun terbagi pula atas beberapa wilayah pemangkuan yang dipimpin oleh seorang pemangku, masing-masing dengan pembantunya, seorang penggawa.
Dalam kelompok kekerabatan, keluarga luas (tumbang) mempunyai fungsi yang cukup penting. Kesatuan keluarga luas yang berasal dari satu  petulai disebut ketumbai atau sukau. Beberapa sukau mendiami sebuah dusun.
Dalam perkawinan, masyarakat suku bangsa asal Rejang mengenal adat bilokal atau utrolokal, artinya sepasang suami-istri yang baru menikah boleh memilih tempat menetap di lingkungan kerabat suami atau kerabat istri, sesuai dengan permufakatan kedua pihak. Mereka bisa memilih adat patrilokal (asen beleket) yaitu menetap di lingkungan kerabat suami. Ada dua macam adat patrilokal ini. Pertama, leket putus, yaitu ditandai oleh uang jemputan yang diterima sekaligus oleh orang tua pihak perempuan. Hubungan si perempuan dengan orang tuanya dianggap terputus, ia dianggap hilang; ia merasa seperti dijual saja. Bila suaminya meninggal, ia akan dinikahkan dengan saudara suami atau saudara sepupu suaminya. Cara leket putus biasanya tidak disukai. Kedua, cara leket coa, yang menentukan bahwa uang jemputan tidak diambil oleh orang tua si perempuan. Dengan demikian, jika perempuan itu mengalami kesulitan, ia bisa minta tolong pada orang tuanya.
Selain itu, ada pula adat menetap matrilokal, semendo nyep dan semendo sementaro. Apabila sang pria datang menetap di lingkungan kerabat istrinya dengan tidak membawa apa-apa, hal itu disebut semendo nyep. Kalau terjadi perceraian, harta jatuh kepada pihak istri. Sementara adat semendo sementaro menetukan bahwa sang suami dalam keadaan atau waktu tertentu dapat membawa istrinya menetap di lingkungan kerabatnya sendiri. Adat semendo rajo-rajo menetukan bahwa kdua pihak mempunyai kedudukan sama kuat sehingga mereka boleh memilih tempat menetap di salah satu pihak kerabat.
Mata pencaharian utama sebagian besar orang Rejang adalah di bidan pertanian. Ada pula yang menjadi pedagang, pegawai, tukang, dan lain-lain. Dalam bercocok tanam di sawah, mereka sudah melaksanakan panca usaha, sehingga menghasilkan surplus beras, terutama di Lebong. Mereka juga menanam kopi, kelapa, langsat, cengkeh, kayu manis, dan karet. Di Lebong, Curup, dan Kepahiang, mereka juga menanam sayur-mayur, seperti kol, sawi, bawang, kentang, wortel, seledri, cabai, dan lain-lain. Daerah ini merupakan produsen sayur mayor untuk daerah Bengkulu, bahkan untuk daerah Sumatera Selatan.
Orang Rejang pada umumnya memeluk agama Islam yang sudah mulai masuk Bengkulu sejak permulaan abad ke-16 melalui Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan. Mereka melaksanakan berbagai upacara keagamaan sesuai dengan ajaran Islam. Namun tentu ada pula upacara-upacara yang bersumber dari norma-norma adat tertentu.
Dikutip dari teks asli tulisan M. Junus Melatoa dalam:
Ensiklopedia Nasional Indonesia. PT. Delta Pamungkas. Jakarta. 2004. Jilid 14 QRS-SE



Lema: Salah satu makanan tradisional asli suku Rejang

Thanks to Bumai Pat Petulai (http://taneaktanai.blogspot.com) for the picture above

2 comments:

Please give your comments here: