Thursday, December 15, 2011

Patang Stumang

Patang setumang adalah filosofi sistem peradaban Rejang dalam mengaplikasi sistem komunal yang lebih besar atau sistem pertemanan yang lebih kecil. Patang dalam bahasan Rejang adalah larangan dengan beberapa konsekwensi ketika dilanggar. Setumang adalah berpisah; berpisah ini diterjemahkan secara holistik yang mencakup beberapa dimensi kehdupan dengan berbagai tahapan generasi.

Dalam sehari-hari pepatah ‘pet samo nuwang, mis samo nmbhuk’ adalah bagian turunan dari aplikasi Patang Setumang. Jika dilihat lebih jauh dalam sejarah Rejang, Patang Setumang ini hampir sama tuanya dengan peradaban Rejang itu sendiri. Dari sistem komunal yang paternalistik, genelogis dan kepercayaan-kepercayaan lokal di Rejang, banyak yang mengajari dan menjelaskan kesepakatan adat mengacu pada Patang Setumang. Kesepakatan adat antar 4 Ajai di Lebong Atas adalah awal yang menjelaskan sistem ini dalam bentuk kesepakatan tertulis dalam sejarah turun temurun   dikenal dengan prosesi pemotongan Kerbau yang tanduknya diukir, jantung dan hatinya dimakan (sebagai simbol kesepakatan tersebut jadi darah dan daging yang akan diturunkan ke generasi berikutnya) tentunya melalui perkawinan yang eksogami, yang tujuannya adalah untuk menyebarkan ajaran Patang Setumang ini lebih luas.
Periode berikutnya dari aplikasi Patang Setumang adalah kesepakatan yang dilakukan di Gua Kazam, Lebong Atas, yang lebih rigit menjelaskan bentuk-bentuk kesepakatan-kesepakatan yang akan di sepakati oleh masing-masing komunitas Rejang di manapun berada. Kesepakatan yang dilakukan ini antara lain disepakati So Samo Kamo Bamo…… : sebuah bahasa penyederhanaan dari Patang Setumang. Turunan-turunan bahasa Patang Setumang ini kemudian dalam komunitas yang lebih kecil seperti Topos 'tunun puweng Kutai Donok 'tunun pelbeak, adalah bentuk bahasa dan kesepakatan yang sampai saat ini masih dipercayai oleh warga komunitasnya terutama di kampung-kampung.
Apakah kemudian Patang Setumang ini dalam konteks lebih besar berdampak pada sistem pembangunan komunitas maupun pada pembangunan nurani? Lebong yang dikenal sebagai pusat dan tempat asal usul suku Rejang, dalam sistem administrasi pemerintahan mengunakan simbol Patang Setumang, tentunya ini membawa konsekwensi yang sangat besar bagi generasi yang saat ini mengunakan faslsafah ini, maupun bagi generasi berikutnya. Apakah Patang Setumang ini bisa diterjemahkan dalam sistem berkehidupan maupun relasi antar mereka dalam konsolidasi kembali bagi komunitas-komunitas yang semakin tersebar dan mulai dirasuki globalisasi yang mendistori arti sistem lokal ini?
Dalam perjalanannya, Patang Setumang ini hanya sebatas slogan, namun nilai-nilai yang ada dalam Patang Setumang di tinggalkan; dan ini pasti akan berdampak pada komunitas dan generasi berikutnya. Pengingkaran Sistem Patang Setumang ini karena deklarasinya ada tahapan yang terlupakan, misalnya apakah ini lahir dari kesepakatan adat atau memang lahir atas kepentingan politik yang jauh sekali dari nilai-nilai lokal yang mistik? Di Lebong saja sudah mulai mengakumulasi kekuasaan, modal dan penguasaan terhadap tanah-tanah sebagai alat produksi warga komunitas dan ini berakibat adanya ketimpangan sosial, budaya dan modal sehingga yang tampak adalah penguasa di satu sisi dan rakyat yang di tindas di sisi lain; dan proses ini jauh sekali dari nilai-nilai Patang Setumang.
Akibat dari distorsi pemahaman Patang Setumang dan aplikasinya, akan ada konsewensi secara psikologis; misalnya masyarakat Rejang ‘patang merajuk, amen merajuk patang belek, patang mengiak amen mengiak munuak tun’. Ini adalah ungkapan ketika terakumulasinya akibat-akibat pengingkaran terhadap nilai-nilai Patang Setumang. Ada banyak pelajaran sebagai gejala akan terjadinya dampak psikologis tersebut. Tanda-tanda alam,   dengan gagalnya panen, munculnya binatang liar di tengah-tengah pemukiman penduduk   dan stigma terhadap kelompok dan perorangan.
Tentunya, bagi penggiat dan warga komunitas yang masih memegang teguh sistem lokal yang ada, mari Patang Setumang ini kita jadikan sebagai proses konsolidasi ditengah merosotnya eksistensi komunitas Rejang dalam berbagai struktur kemasyarakatan, sistem budaya, sosial dan relasi dengan komunitas yang lebih besar.
Posted by Erwin S Basrin in www.amarta.wordpress.com

No comments:

Post a Comment

Please give your comments here: