Serambheak
Suku
Rejang, yang dikenal sebagai satu di antara sedikit suku asli penduduk
Bengkulu, memiliki budaya yang beragam. Ragam budaya itu meliputi
tulisan, adat istiadat, hukum adat, kesenian, dan sastra. Khusus untuk
sastra lisan, suku ini juga memiliki berbagai macam jenis sastra, antara
lain Nandei, Geritan, Berdai, Pantun, Syair, Sambei, dan Serambeak.
Jenis sastra yang disebut terakhir inilah yang lebih populer digunakan
sehari-hari — baik oleh orangtua, remaja, dan anak-anak — dalam
berinteraksi.
Kekayaan budaya suku Rejang, dalam pandangan seorang
pemerhati masalah budaya di Bengkulu, Drs. Tommy Suhaimi, M. Si.,
direfleksikan dengan banyaknya orang asing serta pejabat pemerintahan di
zaman Belanda dan Inggris yang menulis dokumen tentang suku-bangsa ini.
Setiap kali akan mengakhiri jabatannya di wilayah yang didiami suku
Rejang, pejabat penjajahan di masa lalu itu selalu menyempatkan untuk
menulis dokumen tentang suku Rejang dalam bentuk pidato
pertanggungjawabannya. Dokumen ini di kemudian hari menjadi bahan kajian
bagi pejabat berikutnya.
Serambeak sendiri bisa diartikan sebagai
pengungkapan cetusan hati nurani dengan menggunakan bahasa yang halus,
indah, berirama, dan banyak menggunakan kata-kata kiasan. Menurut Tommy,
yang kini menjabat Kepala bagian Humas Pemda Kota Madia Bengkulu, serambeak
dipakai dalam bidang yang cukup luas oleh suku Rejang. Dalam kehidupan
sehari-hari — waktu bermusyawarah maupun mengobrol biasa — sering
disisipkan serambeak di tengah pembicaraan. Begitu juga ketika menyambut
tamu yang dihormati, serta dalam rangkaian kegiatan perkawinan, dalam
pergaulan muda-mudi, dan lain-lain.
Salah satu contoh serambeak yang umum adalah:
Indho ro dep, i-o ba ta-ai ne;
Indho ro gung, i-o ba keliuk ne.
(Bagaimana bunyi rebab begitulah tarinya,
bagaimana bunyi gong begitulah lenggangnya).
Maksud serambeak ini adalah bahwa sesuatu tindakan atau kegiatan seseorang hendaklah sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Serambeak juga biasa digunakan saat seseorang menasehati orang lainnya agar menyesuaikan diri dengan lingkungan baru serta bergaul dengan orang lain. Demikian pula nasehat agar dalam mendidik dan menjaga anak bujang maupun gadis, para orang tua hendaklah hati-hati, penuh kearifan dan bijaksana. Nilai agama haruslah ditanamkan sejak kecil.
Bagi suku
Rejang, tamu memiliki arti penting yang harus dihormati dan dilayani
dengan baik. Oleh sebab itu serambeak khusus untuk tamu juga banyak
ragammnya. Di antaranya:
Dio ade iben sapai daet, moi mbhuk iben.Terjemahannya kira-kira:
Iben ade delambhea, gambhia ade deca-ik, pinang ade desisit, rokok ade dpun.
Iben yo iben pena-ok magea suko pangghea.
Salang tun dumai belek moi talang.
Salang tun talang belek moi sadei.
Dapet kune ta-ok dngen taweuea.
Salang magea mendheak simheak.
Arak suko padaa ngalo.
Arak magea mendheak simheak.
Agang magea suko pangghea.
Ada
sirih terhampai di darat, makanlah sirih. Sirih ada selembar, gambir
ada secarik, pinang ada seiris, rokok ada sebatang. Sirih ini sirih
penyapa untuk para tamu yang berdatangan. Sirih penyapa bukan karena
membuat kesalahan, tidak pula karena membuat yang tidak baik. Sirih
penyapa karena kami penuh harap, harap kepada tamu yang datang. Gembira
karena memenuhi undangan. Sedangkan orang di ladang pulang ke talang,
orang di talang pulang ke dusun. Semuanya diundang, rasa suka dan
gembira atas kedatangan tamu semuannya.
Tun meleu diem puluk kelem.
Tun titik diem beak lekok.
(Orang hitam diam ditempat gelap.
Orang kecil berada di lembah yang dalam).
Serambeak
ini bermaksud sebagai sikap merendahkan diri bahwa ia orang yang serba
kekurangan dan penuh kelemahan. Pemakainya biasa digunakan oleh remaja
waktu pacaran sebagai ungkapan bahwa ia penuh kekurangan.
Asai tek'ceup 'tbau neak talang.
Asai tkenem biyoa neak imbho.Asai mdaki munggheak mdateua.
(Rasa tercicip tebu di Talang.
Rasa terceminum air digunung.
Rasa lega ketika tiba di tempat datar setelah mendaki tebing yang tinggi).
Serambheak
ini bermakna cetusan kegembiraan ketika seseorang mendengar atau
mendapatkan sesuatu yang telah lama didambakan. Biasa digunakan oleh
muda-mudi ketika mendengar sang pujaan memberikan harapan-harapan yang
muluk atau sesuatu yang diinginkan.
Keunikan suku Rejang yang
jumlahnya diperkirakan sekitar 900 ribu jiwa — mereka menghuni Kabupaten
Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Musi Rawas (Sumsel),
dan Kabupaten Lahat (Sumsel) — mampu menarik perhatian peneliti asing.
Burhan Firdaus, dalam bukunya "Bengkulu dalam Sejarah" yang diterbitkan
oleh Yayasan Seni Budaya Nasional Indonesia, 1988, mengungkapkan adanya
seorang peneliti dari Australia, Prof. M.A. Jaspan dari Australia National
University (ANU) yang menetap bersama keluarga setempat tahun 1961-1963
untuk meneliti suku bangsa Rejang.
Jaspan menghasilkan beberapa buku,
antara lain From Patriliny to Matriliny, Structural Change Amongst the
Redjang of Soutwest Sumatra, Folk Literature of South Sumatra: Redjang
Ka-ga-nga Texts, dan The Redjang Village Tribunal. Buku-buku itu sampai
kini jadi bahan kajian penting bagi mahasiswa asing yang mengambil studi
sejarah budaya Indonesia.
Residen kedua Bengkulu, Prof. Dr. Hazairin,
SH., yang oleh pemerintah dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional pada 10
November 1999, mempertahankan disertasi doktornya berjudul De Redjang
untuk mendapatkan gelar Ph. D., dalam bidang hukum adat.
Menurut Ketua
Masyarakat Adat Bengkulu, Zamhari Amin, serambheak membuktikan bahwa nenek
moyang kita dahulu mempunyai budi bahasa, sopan santun, perasaan hati
nurani yang halus, dan tata cara pergaulan yang tinggi nilainya. Oleh
karena itu, sudah sewajarnya generasi muda sebagai generasi penerus
mengadakan penelitian, pengumpulan, guna menggali dan menghidupkan
kembali budaya yang tinggi nilainya agar diketahui dan dipelajari oleh
khalayak ramai.
Kalangan orangtua yang masih memahami dan menguasai
dinamika kebudayaan sukubangsa Rejang, menurut Zamhari, kini sudah
semakin berkurang. Mereka pada umumnya tidak meninggalkan bukti tertulis
tentang seluk-beluk kebudayaan Rejang.
”Jika kondisi ini terus
berlangsung, dalam lima dasawarsa mendatang, tidak hanya serambeak, tapi
kebudayaan suku Rejang tidak akan diketahui lagi oleh generasi mudanya.
Selain itu, orang Rejang sendiri terdistorsi oleh kebudayaan lain
bahkan budaya asing,” ujarnya. -Maswandi (republika.co.id)
ROven Varden ANtares
No comments:
Post a Comment
Please give your comments here: