|
Morg by Clare Reddaway |
Morg kesal. Lebih dari kesal, ia teramat sangat marah. Lagi-lagi ia harus memilih untuk mengkhawatirkan adik kecilnya itu. Biasanya ia selalu riang, seperti saat ia melihat adiknya itu tersandung karena kakinya yang masih pendek, atau saat adiknya itu mengoceh tidak jelas dengan gayanya yang mengundang tawa itu, tetapi hari ini
ada sesuatu yang jauh lebih menarik terjadi. Para kaum pria sudah bersiap-siap untuk pergi berburu. Sudah berbulan-bulan
lamanya tidak ada perburuan. Pertama karena akhir-akhir ini terlalu sering turun hujan dan kemudian terlalu banyak yang harus dikerjakan saat panen. Tapi
sekarang semua gandum sudah dikemas dan
biji-bijian itu semua disimpan dalam lubang. Sang tabib sudah hadir di sini, ia membawa berkah dari para Dewa
dan juga obat-obatan
bagi penduduk desa. Kepala
suku telah memutuskan bahwa sudah waktunya untuk
pergi berburu. Di luar orang-orang berkumpul dan sang tabib sedang menjelaskan beberapa hal pada
mereka. Morg ingin sekali berada di sana,
bersama mereka.
Tapi Morg tidak
diizinkan untuk pergi. Ia bahkan tidak
diizinkan untuk sekedar
melihat-lihat. Adiknya
sedang sakit. Ia kerasukan
semacam roh jahat di dadanya yang membuatnya batuk terus menerus. Ia harus selalu tetap hangat,
dan untuk itu ia harus tetap berada di
pondok. Oleh karena itu, sementara saat ibunya
mengambil air, Morg harus tinggal di gubuk juga, menjaga adiknya.
Saat itu di pondok gelap. Gelap gulita dan hangat, hanya
diterangi cahaya dari api yang dibakar di tengah ruangan. Kemudian, biasanya api akan dibangun
sedemikian rupa sehingga akan menjilati kuali hitam
bulat dan panas untuk merebus makan malam. Tapi untuk malam itu
sayur mayur telah diletakkan pada balok-balok. Api biasanya
akan tetap
panas dan hidup, tidak perlu diberi kayu
lagi. Morg tahu, api itu sama rakusnya dengan serigala lapar di tengah hutan sana yang sering ia dengar
lolongannya saat malam hari.
Morg bisa
mencium bau api itu, begitu akrab baginya, seakrab ia dengan bau ibunya. Ia bisa mencium dan langsung tahu apakah mereka sedang
membakar ranting-ranting kecil atau kayu hazel
(sejenis kacang-kacangan), kayu
dari semak-semak atau
kayu-kayu yang lainnya. Bagi Morg, begitulah bau rumah.
Pancaran cahaya dari api itu menerangi wajah anak kecil yang terbaring di sebelahnya, yang tertidur pulas di atas
selimut. Morg menyapu lantai di sekelilingnya, masih dengan
perasaan kesal. Setiap remah-remah atau daging sisa menjadi makanan bagi tikus-tikus, dan ibu Morg benci tikus. Morg benci sekali ibunya hari ini. Ia tahu ibunya begitu mengkhawatirkan adiknya yang
demam itu, karena adiknya
yang perempuan dulu juga sakit seperti itu sebelum akhirnya meninggal. Hal itu tidak menahan Morg untuk meracau,
mengomeli kekejaman yang
membuat ia ditahan di dalam pondok itu. Kadang, saat ia sudah terlanjur berkata-kata seperti itu, ia
berharap bisa menarik kata-katanya kembali, tapi
sudah terlambat. Ia lalu melihat-lihat ke sekelilingnya dengan cemas. Jangan-jangan ada yang
mendengar. Ia berceloteh lagi, tapi dengan kata-kata yang baik sambil berharap-harap
cemas kalau tidak ada yang mendengar perkataanya itu tadi.
Di luar, ia
mendengar suara terompet tanda berburu. Bunyinya kencang dan tajam, memenuhi seluruh desa.
Morg beringsut menuju pintu. Ia bisa melihat dengan cahaya yang lewat
melalui celah
di papan, tapi itu tidak cukup. Ia membuka pintu
sedikit. Mungkinkah ia bisa menyaksikan mereka dari
sini? Ia mungkin hanya
bisa menangkap sekilas apa yang sedang terjadi di sana. Tapi ia tidak bisa melihat apa-apa. Pagar tempat mengurung babi
menghalangi pandangannya. Ia membuka pintu
lebih lebar lagi, dan terjangan badai es pun menerpa tangannya. Angin menghantam, menggegerkan seisi pondok. Di
belakangnya, bara berderik lalu api menyala dan bayi itu terbangun. Morg tidak memperhatikannya. Ia berusaha mengontrol
pintu itu. Dijepitnya dengan batu,
sehingga sekilas terlihat masih tertutup. Ia berlari keluar dan menyeberang
ke sudut pagar babi.
Morg meloncat ke rerumputan yang berjajar di depan pagar. Rerumputan itu berserakan oleh
angin es pertama musim itu dan Morg
menggigil. Di sini selalu dingin
dan berangin. Desa ini dibangun di atas sebuah dataran bukit, sebuah
bukit yang tampak
seolah-olah seperti tegaknya
tubuh seseorang yang
baru saja dipancung dengan pedang.
Morg tahu bahwa wajar saja jika tempat mereka jadi seperti itu. Salah satu
cerita dari ayahnya yang mengisahkan tentang buyutnya, yang datang ke
bukit ini ketika masih kecil. Beliau sudah di sini sejak saat mereka
menggali tempat ini dan membuat gundukan di atasnya, batu demi
batu, sampai tempat itu menjadi datar dan
halus sehingga siap untuk mereka diami. Bukit ini dipilih karena
tinggi dan dari atasnya kita bisa memandang hutan dan
lembah-lembah sungai hingga bermil-mil jauhnya. Orang tidak bisa
merayap naik ke bukit ini
tanpa terlihat. Bukit yang bagus.
Dari tempat di mana ia mengintai, Morg bisa
melihat sepuluh atau dua belas pondok bulat dengan atap jerami runcing yang di sekitarnya dilingkari rerumputan. Kambing-kambing coklat kumal yang ditambatkan ke
tiang-tiang, sedang
merumput. Ada beberapa unggas
di samping gubuk temannya, Olwig. Ia bisa melihat
benteng-benteng tinggi yang terbuat dari
tanah di sekitar tepi desa yang membuat mereka semua aman. Di dekat gerbang benteng,
berdiri sekumpulan pria. Mereka diam
dan mendengarkan. Rambut pirang panjang mereka tertiup angin.
Morg bisa
melihat wajah mereka dengan
jelas. Lalu hembusan angin menyingkapkan wajah ayahnya, yang berada di tempat yang agak jauh dari mereka, berdiri di
antara kuda dan Arlen anjingnya, yang diberi pengikat di lehernya. Arlen
telah memamerkan giginya dan itu menandakan Arlen sudak tak sabar mengejar buruan ayah Morg. Arlen suka berburu,
tapi dia tidak suka menunggu. Di sana, di samping ayahnya, ada Col, adik Morg. Morg geram. Ini adalah
kali kedua adiknya
itu ikut pergi berburu,
sedangkan ia baru
berumur tujuh
tahun, satu musim dingin lebih muda
daripada Morg. Col menyeret-nyeret kakinya, bosan
dengan ceramah sang tabib, tak lagi sabar untuk
pergi berburu. Morg tidak pernah bertingkah begitu kurang
ajar.
Tiba-tiba terdengar jeritan dari
belakangnya, teriakan
menjerit yang meraung-raung. Sekejap Morg melompat
berdiri dan sudah berada di pondok, di samping adik kecilnya itu. Wajah adiknya tegang dan air
mata mengalir deras di pipinya. Anak itu melambai-lambaikan tangannya dan
melengkungkan punggungnya, ingin
bangun. Dia memukul-mukuli
wajah Morg, tapi Morg berusaha mengangkatnya. Morg mencoba
menenangkannya, tapi tak juga diam. Kemudian Morg
mencium bau seperti ada sesuatu yang terbakar. Sebuah balok terlihat tergeletak
membara di atas selimut. Segera dimasukkan oleh Morg kembali ke
dalam tungku api, dikibas-kibaskannya bara itu dan menduga-duga apa yang telah terjadi. Rupanya tadi api telah
berkobar. Anak itu tadi
melihat api membesar dan merayap ke arahnya. Dipegangnya balok yang terbakar itu. Tampak oleh Morg - salah satu
tangannya yang mengepal.
Buru-buru ia meraih botol
air yang terbuat dari kulit dan dituangkannya air ke dalam
mangkuk. Dimasukkannya tangan adiknya ke dalamnya. Telapak
tangannya merah dan
melepuh. Ia yang
menyebabkan semua ini, Morg sadar, teringat dengan sumpahnya untuk menjaga adiknya itu. Perlahan-lahan jerit tangisnya reda. Morg melembutkan wajahnya dan
bersenandung lembut kepadanya, ditimangnya
adiknya itu di pangkuannya.
Morg mendengar derit
pintu terbuka. Itu ibunya. Ia membawa kendi air dari tanah liat yang terlihat begitu berat di atas kepalanya.
Adik Morg yang paling kecil diikat di punggungnya - Dewa
kesuburan tampaknya ramah pada
keluarga ini. Ibu Morg
tampak kelelahan. Morg menatap lantai.
"Morg?"
"Kebakaran," gumam
Morg, seraya jeritan tangis itu kembali
meninggi. Ibunya berjalan menghampiri.
"Jelaskan," kata
ibunya sambil mengangkat anak
itu. Morg menjelaskan. Ibunya berniat
mengelus kepalanya. Morg merunduk, menghindar, tapi ibunya terlalu lelah untuk marah, ditambah
lagi harus menghibur anaknya
itu.
"Oh, Morg yang tidak berguna,"
katanya. "Pergilah. Habiskan waktumu seharian ini dengan domba-domba di luar sana. Aku tidak
ingin melihat wajahmu."
Morg berpaling lalu pergi. Itulah kebebasan yang selama ini selalu ia inginkan.
Tapi entah kenapa dia tidak menginginkannya lagi.
***
Morg tertunduk lesu, keluar dari
gubuk. Dia mendengar bunyi
terompet itu lagi – pertanda
orang-orang akan segera berangkat berburu. Dia melihat para pria melompat menunggangi kuda mereka,
mengendalikan kuda mereka dengan
tangan dikaitkan ke surai yang
panjang. Semua sudah
naik ke kuda, kecuali Col. Kudanya, Branrin,
berputar-putar, menolak untuk
dinaiki Col. Morg
mengepalkan tinjunya. Harus
tangkas kalau mau menunggangi Branrin, pikirnya. Col harus tahu
itu. Akhirnya Col berhasil naik, wajahnya merah padam karena malu.
Kuda-kuda dipecut dan kepala mereka pun melambung, napas mereka seperti asap
di udara yang dingin. Anjing-anjing menyalak tak sabar. Ayah Morg, sebagai
pemimpin berburu, memimpin kerumunan melalui tebingan tinggi yang menghubungkan desa dengan pintu gerbang luar.
Penjaga melambaikan tangan saat mereka lewat. Morg menatap lama barisan itu hingga menghilang dari pandangan. Ia merengut.
"Morg!"
Ia mendengar
teriakan. Itu temannya, Olwig.
"Kami terlambat membawa domba ke dataran bawah sana. Mau ikut?"
Morg tidak bisa
memutuskan. Menolak untuk menjaga domba akan
membuat ibunya lebih marah lagi. Di sisi lain,
ia ingin ikut berburu. Namun, rombongan
berburu sudah pergi. Bahkan Tabib telah kembali ke
gubuknya.
"Baiklah,"
katanya kesal. "Di mana domba-domba itu?" Olwig
menunjuk dan Morg melihat adik
Olwig, Pridoc yang sedang menghalau tiga domba
dengan ranting hazel. Sebentar
saja domba-domba itu mampu dikumpulkan oleh Pridoc, sampai akhirnya mereka berpencar lagi lari melompati
kepalanya. Pridoc
yang terkaget, tersungkur di tumpukan sampah. Morg tak tahan tertawa melihatnya.
"Ayo,"
katanya kepada Olwig. Mereka berdua
mahir mengembala domba. Mereka pun berangkat untuk
mengumpulkan kawanan domba
itu.
Ini adalah
pekerjaan musim dingin. Semua domba penduduk desa di musim panas dibiarkan berkeliaran di luar, tapi sekarang
malam hari akan sangat gelap dan
lebih lama daripada musin panas, dan
domba-domba itu akan
dengan mudah dimangsa. Jadi setiap sore anak-anak
bergiliran untuk menghalau mereka semua untuk pulang, dan keluar
lagi setiap pagi ke ladang untuk mencari
makan. Hari ini, domba-domba
itu melincah dan senewen, mungkin
merasakan geliat kegembiraan para pemburu dan
anjing-anjing itu. Ini menyita semua keterampilan Morg dan Olwig
dalam menenangkan
kawanan itu untuk
melalui lorong
sempit ke pintu gerbang. Saat
biri-biri jantan yang terakhir lewat, Morg menepuk
wol-nya yang tebal dan padat. Pada
musim semi, saat domba akan berganti bulu, wol-nya mulai dipangkas, sehingga mereka akan terlihat kurus, dengan sisa bulunya yang hanya
helai-helai coklat. Anak-anak itulah
yang harus memanen wol untuk
dibuat menjadi kain – jika mereka sudah
bisa menangkap dombanya. Hanya anak dengan dengan kaki yang sangat tangkas bisa mengejar domba itu dan menangkapnya. Morg ingat ketika suatu saat dulu ia
menangkap domba paling banyak, dan memanen bundel wol paling besar. Ibu dan ayahnya
begitu bangga padanya saat
itu.
Mereka akan
bangga lagi, pikirnya, dan ia
pun dengan giat menuntun ke
domba jantan yang besar, yang melompat dengan gesit keluar dari jalan dengan hentakan tumitnya yang tangkas.
"Semoga Dewi Alos
memberkati perburuan hari ini, huh?" teriak
Olwig lagi kepada Morg.
Saat Olwig
mengatakan hal itu, setahu Morg ia telah
mengatakannya yang kesekian ratus kalinya. Sang Dewi
mungkin memberkati para pemburu. Dia
mungkin memberkati Morg juga. Dia mungkin mengangkat usaha keras
Morg yang telah begitu
bodoh membiarkan
halauannya longgar. Morg menggiring domba melalui medan pintu gerbang yang berat melewati benteng. Sementara ia sendiri tenggelam dalam alam pikirannya.
Tanah miring dan curam yang dilalui menurun dari
gerbang dan jalan itu berbahaya. Ia harus jeli di mana ia
melangkah untuk menghindari kehilangan pijakan. Penduduk desa sengaja
membuat jalan
begitu kasar untuk mencegah datangnya pengunjung
yang tak diinginkan. Domba meloncat ringan. Mereka sudah tahu jalan menuju
tempat mereka untuk merumput. Sudah tersedia banyak makanan untuk
mereka disana, dan mereka
juga memupuk lahan itu dengan kotoran mereka
untuk masa penanaman musim depan.
"Olwig?"
bujuk Morg, saat domba-domba itu merumput dan diam. Olwig tahu nada suara yang membujuk ini dan dia
tidak senang.
"Apa?"
"Aku
temanmu, kan?"
Olwig waspada,
tapi dia mengangguk.
"Maukah
kau melakukan sesuatu untukku? Untukku,
temanmu. Aku akan selamanya berhutang budi padamu." Morg
membungkuk seolah begitu rendah hati
padanya. Olwig mendesah panjang.
"Apa?"
"Aku harus
pergi. Aku mau kau yang menjaga
domba."
"Sendirian?" Olwig
terkejut.
"Aku akan
segera kembali."
"Kau mau kemana?"
"Aku akan pergi ke hutan." Mata
Olwig terbelalak. Pergi ke hutan keramat itu sendirian kemungkinan
akan menakutkan.
"Apa yang akan kamu tawarkan kepada Dewi?"
tanyanya, akhirnya.
"Ini,"
kata Morg singkat seraya menunjukkan jarinya ke bros di
lehernya yang menempel pada jubah tebal
cokelat di lehernya. Itu adalah
sebuah perunggu yang ditempa dan membentuk
lingkaran, dengan pola melingkar-lingkar di atasnya. Ayahnya membeli itu untuknya saat pergi
beberapa bulan yang lalu. Ia ingat betul saat ayahnya turun dari kuda, rambutnya
menggelitik wajah Morg. "Dan ini
untuk Morg kecilku, " kata ayahnya sambil tertawa dan
menyematkan bros di tuniknya itu. Ia sangat menyayangi bros itu.
Olwig
tersentak. Dia tahu Morg serius.
"Pergilah
sekarang," katanya. "Para Dewa menyertaimu."
Morg pun pergi ke dalam
hutan. Olwig menatap lama ke
pepohonan sampai Morg
pun tidak terlihat lagi.
***
Morg suka hutan, dan sekaligus juga takut.
Rakyatnya memerlukan hutan untuk bertahan
hidup, tapi kadang-kadang hutan
juga menelan mereka. Morg tahu persis
bahkan setiap inci tepian hutan itu. Dia sering
dikirim keluar bersama Olwig untuk mencari dan mengumpulkan hazel atau beech
nut (sejenis kacang-kacangan juga) di saat musim gugur. Hasilnya akan disimpan dalam
lubang, seperti yang
biasa dilakukan tupai, supaya
awet berbulan-bulan di musim dingin. Morg suka memetik blackberry yang muncul di akhir musim panas. Di tuniknya masih ada bekas noda ungu getah buah-buahan itu. Ayahnya
tertawa dan bertanya ada berapa banyak sebenarnya blackberry yang mereka petik dan bawa pulang hingga benar-benar
mencapai desa. Morg tahu di mana tempat
memetik daun melde
hijau yang biasanya suka dimakan keluarganya dengan daging, yang paling menyenangkan, tanaman-tanaman yang mereka tumbuk hingga halus untuk membuat
minyak.
Memang, Morg-lah yang pertama kali menemukannya, Mistletoe, tanaman suci yang menyembuhkan hampir semua penyakit. Ia telah menunjukkannya pada Tabib di mana tanaman itu tergantung
dan Tabib pun senang padanya. Diletakkan
tangannya yang pucat itu di atas kepala Morg dan menatap matanya dalam-dalam dan memberi tahu bahwa ia telah
melakukan hal baik dan bahwa
ia akan diberkati oleh para Dewa. Saking
Morg merasa begitu bangga hingga dia pikir dia
akan pingsan ketika itu. Semua tanaman obat telah
dikumpulkan pada hari keenam pada
bulan itu, dan Tabib telah
mengorbankan tiga unggas untuk Ibunda Dewi agar membawa keberuntungan bagi mereka. Dia membawa tanaman obat tersebut ke gubuknya,
dan Morg membayangkan bahwa di sana ia akan membuat ramuan penyembuhan untuk orang-orang di desanya.
Itu terjadi
tiga musim yang lalu, di musim
semi. Sekarang Morg tidak lagi
merasa
diberkati oleh para Dewa. Sejak lahirnnya
bayi yang baru itu, di mata ibunya ia tak
lagi bisa melakukan apa pun dengan benar. Ibunya
selalu kelelahan dan marah-marah. Dia berjalan
dengan langkah berat dan Morg sudah dua kali melihatnya meringkuk, mencengkeram
perutnya, menangis kesakitan. Morg penasaran apakah tanaman itu bisa mengusir
apapun yang sedang merasuki ibunya itu.
Morg memikirkan
ibunya saat ia menjejakkan
kaki ke dalam hutan. Jalan ke
dalam sana jauh, dan ia harus pergi ke bagian yang ia belum tahu. Semakin jauh ke dalam, jalan menjadi semakin sempit, dan semakin kurang baik.
Pohon-pohon yang lebih berdekatan satu
sama lain, dan Morg
hampir tidak bisa melihat langit yang
kelabu di atas sana dengan mata telanjang, terhalang jalinan cabang-cabang pohon. Ia tahu, selama ia terus
mengikuti jalan ini, ia pasti akan sampai ke tengah hutan, tapi ia
gugup dan takut. Ia mengingatkan
dirinya sendiri bahwa orang-orang pernah
melihat
serigala ketika domba –yang baru tumbuh besar– milik tetangganya Daroc hilang, dan itu terjadi genap tiga bulan
lalu. Serigala tidak akan
menyerang di siang hari, pikirnya. Sebuah dahan
pohon patah dan jatuh di belakangnya. Hal itu membuatnya berlari ketakutan. Ia berlari dan
berlari, sampai terengah-engah,
napasnya tak karuan dan ia merasa
seolah-olah ada belati yang ditekan ke dalam dirinya dan ia harus
berhenti sekarang. Ia melihat dengan ketakutan ke arah belakangnya. Tidak ada apa-apa di
sana. Tetap tenang, ia berkata pada dirinya sendiri, tetap tenang dan kamu akan selamat. Namun begitu, ia mencoba
untuk berjalan tanpa suara dan terus berharap-harap
cemas semoga ia tidak akan celaka.
Jalan mulai
menanjak ke atas. Sangat curam.
Bahkan pohon-pohon bersandar ke bukit agar
tidak longsor ke bawah. Jalan itu berbahaya, tertutup bebatuan longgar.
Morg harus bersusah payah untuk menjaga
pijakan dan menggunakan tangannya untuk menjaga
keseimbangan tubuhnya. Lalu ia mendengar suara
air terjun dan ia tahu
bahwa ia sudah hampir sampai.
Beberapa menit kemudian ia naik ke atas pinggiran bebatuan yang terakhir dan
keluar dari pepohonan. Ia telah sampai. Rumput di dataran itu segar
dan hijau, lebih hijau dari yang dilihatnya selama berbulan-bulan sebelumnya. Di hadapannya ada dua batu besar,
menghimpit satu sama lain.
Dari celah antara keduanya mengalir air dingin dan jernih. Di aliran air itu, bebatuan mengkilat merah dan
hitam. Menjorok di atas
mata air itu ada pohon ek, pohon yang sangat besar, yang bahkan jika
Olwig dan Morg berpegangan tangan dan membentang selebar yang mereka bisa,
tangan mereka tidak akan mencapai penuh
lingkar batangnya. Itulah pohon suci Alos, Dewi
hutan.
Morg tertegun, ragu-ragu. Ia tiba-tiba
takut. Bagaimana jika Dewi mengira
ia telah berlaku kurang ajar? Ia sendirian dan
masih kecil, berani mendekatinya
tanpa ditemani seorang pendeta pun? Morg berlutut,
dan kemudian menundukkan kepalanya ke tanah, mengarahkan lengannya ke mata air.
"Oh Dewi, lindungi dan berkatilah aku,"
gumamnya. "Aku minta maaf karena hanya aku sendirian di sini.
Maksudku, aku tidak mengajak Tabib atau siapa pun.
Seperti yang engkau lihat, aku tidak
sempat mengajak mereka." Ia kemudian mendongak, berharap Alos
akan mengerti.
"Aku
membawakan ini," katanya dan ia copot brosnya. Jubahnya terlepas dari bahunya. Ia menggenggam bros itu erat-erat dalam kepalan
tangannya.
"Ini
adalah benda kesayanganku. Aku ingin
memberikannya kepadamu." Ia masukkan genggamannya itu ke bawah air dan
perlahan-lahan membukanya. Air mengalir melalui lingkaran yang terbuat dari perunggu itu. Tampak begitu
indah, dan jari-jarinya mencengkeram di atasnya. Mungkin dia bisa menawarkan
sesuatu yang lain. Angin
yang begitu dingin berhembus melewati dedaunan pohon ek itu. Itulah jawabannya. Dewi menginginkan brosnya.
"Aku minta
maaf atas kesalahanku. Tolong, buatlah ibuku jadi lebih baik lagi. Keluarkan roh-roh yang
mendiami dirinya itu. Buatlah dia
bangga padaku. Buatlah ia menyayangiku lagi."
Kemudian, ia
tidak tahan lagi dengan genggamannya, bros itu pun terlepas, "Aku ingin ikut pergi berburu.
Col boleh ikut, kenapa aku tidak boleh?"
Morg biarkan
bros itu meluncur keluar
dari tangannya dan masuk ke lubuk
air terjun itu.
"Apakah
terlalu banyak yang aku
pinta itu? " katanya. Dia melangkah mundur. Saat ia mundur, awan yang kelabu tiba-tiba menjadi cerah, dan matahari
pun muncul. Itu membuat
brosnya berkelap kelip di bawah
air dan kilauannya
menari-nari di permukaan
air. Sang Dewi telah menerima persembahannya.
Morg mengambil
langkah berbalik dari sungai itu dan melihat ke sekelilingnya. Hutan itu senyap dan diam. Morg merasa kedinginan. Ia tidak tahu
harus berbuat apa. Mungkin sebaiknya
ia pulang saja sekarang.
Saat ia mencoba
untuk memutuskan, ia mendengar suara derap kencang yang menakutkan. Seekor babi jantan besar keluar dari
pepohonan dekat sungai itu. Babi itu melengking karena terkejut dan
tiba-tiba berhenti. Berdiri
menghadap ke arahnya, Dengan taringnya yang tajam babi itu bisa saja menanduk
seorang pria hingga tewas. Sorot
mata kecilnya itu menatap
Morg.
Morg menatap balik.
Baca cerita selengkapnya disini